Selasa, 14 Oktober 2008

Mahasiswa Koq Tawuran

Kemarin kita disuguhkan banyak berita tapi ada berita yang menjadi kita miris melihatnya yaitu : tawuran mahasiswa yang terjadi dua kali ditempat yang sama dan melibatkan 3 perguruan tinggi. Tawuran itu adalah UKI vs YAI dan UKI vs UBK. Tawuran antara 3 perguruan tinggi itu sudah terjadi dari beberapa tahun yang lalu.

Pantaskan mereka yang disebut GENERASI INTELEKTUAL itu melakukan hal seperti itu apapun alasannya?
Dimana bentuk tanggung jawab dia sebagai generasi intelektual terhadap pendidikan dinegara ini?
Kemana juga orang2 yang bertanggung jawab dari 3 universitas itu, apakah tidak ada tindakan tegas terhadap mahasiswanya?

Kalau sudah seperti ini jangan salahkan kalau ketika lulusan dari universitas yang mahasiswanya suka tawuran ditolak oleh perusahaan. Kalau hal itu sampai terjadi itu maka yang rugi adalah pihak universitas & mahasiswanya.




Senin, 13 Oktober 2008

Politik Pornografi di Indonesia

Kolom Malem Minggon

Surabaya Post 11 Oktober 2008

Politik Pornografi di Indonesia

Sirikit Syah

Seru juga perdebatan pro-kontra pornografi di tanah air. RUU ini sudah dibahas di DPR sejak awal reformasi. Sudah 10 tahun. Betapa besar biayanya. Memangnya tak ada hal lain yang lebih patut dibiayai? Bukankah persoalan susila sudah dibahas di banyak UU atau aturan lain? Sebut saja KUHP, UU Penyiaran, UU Pers, UU Pelindungan Anak. Lalu, mengapa perlu UU
Pornografi?

Pada tahun 2006, saya termasuk menentang RUU yang semula bernama APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi). Dari segi content, misalnya, sepasang suami istri yang berciuman di bandara untuk mengucapkan selamat tinggal, bisa dikenai pasal "melakukan pornoaksi di depan umum".
Keberatan saya juga karena adanya pemborosan anggaran negara untuk hal yang para legislatornya saja kurang mengerti. Tidak seperti para aktivis perempuan dan kaum liberal, saya tidak sedang membela kaum perempuan (saya juga membela anak-anak, laki-laki, orangtua, dan gender ketiga).

Manusia berubah, tak terkecuali saya. Saya sekarang menyatakan mendukung RUU Pornografi. Saya telah mempelajari dokumen-nya dan melihat kesungguh-sungguhan Pansus di DPR untuk menampung semua keberatan dalam perdebatan dua tahun ini. Draft yang tadinya terdiri dari 96 pasal, sekarang tinggal 48 pasal. Hal-hal aneh-aneh seperti "dugaan pornoaksi" banyak dihapus. Perlindungan terhadap kesenian, ritual adat, dan masyarakat tradisional, tersedia dengan manis di Pasal 14. Bila UU dan aturan lain kurang rinci dalam sanksi pelanggaran, RUU Pornografi ini berfungsi sebagai lex specialis yang dapat diterapkan. Tak ada lagi alasan menolak UU Pornografi ini.

Semua UU/aturan yang diajukan para penentang menggunakan istilah "kesusilaan" , bukan "pornografi" . Dalam praktiknya, pasal ini akan menjadi pasal karet, tarik ulur atas makna "melanggar kesusilaan". Beberapa kali kasus pornografi gagal dihukum dengan Pasal 282 KUHP
karena kelonggaran makna "kesusilaan" ini. Tergantung hakim dan saksi ahli. Awal tahun 2007 majalah Playboy menang pengadilan karena para saksi ahli (wartawan, seniman) menyatakan isi majalah sama sekali tidak porno.

RUU Pornografi juga dituduh sebagai ancaman terhadap masyarakat tradisional. Para penentang membawa-bawa nama orang Bali (memangnya orang Bali masih suka bertelanjang dada?), dan rakyat pedalaman Papua yang masih menggunakan koteka. Tentu saja pemakai koteka tak akan ditangkap dan dihukum karena pornografi. Lagipula, mari kita bertanya pada diri sendiri: kita akan melanggengkan primitivisme (manusia tak berbusana), atau memajukan peradaban (mem-busana- kan masyarakat pedalaman)?

Masyarakat Papua tentu saja dijamin hak asasinya bila tetap ingin mengenakan koteka. Namun perkembangan alamiah manusia adalah menuju kemajuan. Rasa malu diturunkan secara manusiawi oleh Nabi Adam dan Siti Hawa (yang menutupi aurat dengan daun-daunan di Taman Surga). Secara natural, manusia memiliki rasa malu. Wajar bila pemakai koteka akan memilih mengenakan sarung, rok, atau pantalon untuk menutupi auratnya, terutama setelah mereka berinteraksi dengan masyarakat luas.

Para penentang juga menuntut "kebebasan memiliki dan memutar video porno" di kalangan manusia dewasa, karena manusia dewasa diharapkan/dipercay a dapat bertanggungjawab. Seandainya klaim itu benar, bahwa semua manusia dewasa bertanggungjawab, betapa amannya dunia ini. Dalam perspektif lain, meskipun ditonton secara pribadi, pernahkah mereka berpikir: siapa yang memainkan adegan porno itu? Jangan-jangan anak di bawah umur, atau perempuan yang diperdagangkan? Dimana empati mereka? Para penggemar video porno (sebagai terapi seks) sebaiknya memfilmkan diri sendiri saja.

Banyak sekali tuduhan sangar pada RUU Pornografi, antara lain "tirani mayoritas atas minoritas", "diskriminatif terhadap perempuan", "memasung kreativitas seni", dan yang paling seram "agenda Islamisasi/Talibani sasi". Ini semua kekuatiran berlebihan. Di alam demokrasi, kemenangan mayoritas sangat wajar, dan tidak berarti tirani terhadap minoritas. UU Pornografi jauh dari menindas perempuan, melainkan menjunjung tinggi derajad dan martabat perempuan.

Akan halnya kreativitas seni, sastrawan Taufik Ismail dalam pidatonya saat Uji Publik RUU Pornografi, 17 September di Jakarta, mengatakan: "Apakah seniman betul-betul kering kreativitas, sehingga tak bisa lagi menulis tentang kemiskinan, kebodohan, penindasan ekonomi,
budaya, dll?" Dia secara tajam juga menyerang masyarakat seniman SMS (Sastra Madzab Selangkang) dan FAK (Fiksi Alat Kelamin) yang kini marak di kalangan penulis muda dengan sasaran generasi muda.

Apakah RUU Pornografi ini adalah gerakan Islamisasi/Talibani sasi?
Di sinilah letak permainan politik para penentang. Mereka menggunakan berbagai cara, dari isu gender (diskriminasi perempuan), isu kedaerahan (mengancam masyarakat Bali dan Papuan), hingga yang paling sensitif: membenturkan Islam vs non-Islam. Padahal, semua agama dan kitab suci tidak menyetujui pornografi.

Gerakan politik penggagalan UU Pornografi ini keras menggema diberbagai media dan forum, berupa kutipan pernyataan maupun artikel, hingga ke seminar-seminar akademik dan politik. Terakhir, para penentang mengusung unsur paling sederhana, yaitu "definisi pornografi", dan
mempersoalkan frasa "menimbulkan hasrat seksual". Di berbagai kamus bahasa Inggris tentang definisi 'pornography' , memang unsur "sexual arousal" terdapat di situ, bukan semata karangan Pansus UU Pornografi. Akan halnya pertanyaan "siapa yang akan terangsang?" , ini tak akan
selesai diperdebatkan. Bisa saja para pelapor pornografi adalah kaum yang mudah terangsang. Tapi, bisa juga para penentang RUU adalah kaum frigid atau impoten yang sulit terangsang. Kita serahkan saja pada para ahlinya, melalui proses pengadilan, bila ada kasus yang dilaporkan.

Penulis adalah pengamat media

Minggu, 12 Oktober 2008

Benarkah Krisis Global Tak Lebih Hebat dari Krisis '98 ?

Dari bebagai media banyak diberitakan kalo Krisis Global yang terjadi saat ini tak akan lebih hebat dari krisis yang pernah bangsa ini alami pada tahun 1998. Kalo itu memang benar adanya kita patut bersyukur akan tetapi tetap saja kita harus waspada karena kita tidak tau apa yang akan terjadi dikemudian hari.

Mungkin benar adanya kalau krisis global ini tak akan lebih hebat dari krisis 1998 akan tetapi dampaknya mungkin akan lebih hebat karena pada tahun 1998 sedang dalam perkembangan yang sangat bagus, sedangkan untuk saat sekarang ini industri sedang dalam kondisi yang tidak bagus masih dari akibat krisis 1998.

Jadi bisa dipastinya kalau akibat dari krisis global ini akan lebih hebat, pengangguran semakin banyak blm lagi pertambahan pencari kerja dari lulusan sekolah & perguruan tinggi yang mencari kerja.

Apabila pengangguran semakin banyak maka dampak dari krisis ini akan semakin dasyat juga. Sektor manufaktur yang merupakan penopang sektor industri sudah banyak yang mengalami masa-masa kritis. Belum lagi faktor kedit macet dikarenakan pola hidup konsumtif yang ada dinegara kita ini, kredit macet dari sektor kartu kredit, kredit motor & kredit perumahan kemungkinan besar akan jadi sektor yang memperparah dampak krisis global ini.